Salam sejahtera wanita Indonesia,
tak lama hampir satu minggu kemarin tepatnya pada tanggal 21 april 2014
diperingati hari pahlawan wanita, yaitu R.A kartini yang disebut dengan ‘Hari
Kartini’. Apa yang kalian lihat pada masyarakat sekitar di hari itu?. Anak-anak
SD yang berbondong dibawa kesalon oleh para ibu untuk menyewa kebaya, disanggul
lalu bermake up, bahkan mungkin anak SMP, SMA pun melakukan hal itu saat akan
pergi kesekolah dalam rangka memperingati ‘Hari Kartini’. Ataupun kalangan masyarakat lainnya yang mungkin
melakukan hal yang sama.
Terlintas, kita melihat kebanyakan
dari rakyat Indonesia memperingati ‘Hari Kartini’ seperti itu. Namun apakah
mereka tahu siapa sebenarnya sosok R.A Kartini ?, sejarah tentang pahlawan
wanita yang menjungjung emansipasi di Indonesia. Apakah mereka mengetahui
perjuangan beliau sehingga disebut sebagai pahlawan wanita?. Mungkin hanya
sedikit yang mengetahui dan memaknainya.
Mengenal R.A
kartini
Kita kenali, siapa kartini ini. Beliau
merupakan seorang pahlawan nasional yang dikenal karena jasa - jasanya dalam
memperjuangkan hak –-hak kaum wanita yang kemudian disebut emansipasi wanita.
RA Kartini lahir di Jepara, Jawa tengah pada tanggal 21 April 1879 dan wafat di
usia 25 tahun di Rembang, Jawa tengah pada tanggal 17 september 1904.
Karena jasa - jasanya, akhirnya
melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964,
tanggal 2 Mei 1964, presiden Soekarno menetapkan RA Kartini sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal
21 April sebagai hari peringatan yang kemudian dikenal sebagai Hari
Kartini.
Raden Adjeng Kartini merupkan seseorang dari
kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati
Ario Sosroningrat, bupati Jepara pada saat itu. Ia adalah putri dari istri
pertama sang Bupati, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah,
putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono,
seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Seorang kartini adalah sosok yang mempunyai
semangat, dalam pendidikan dia sangat semangat mencari ilmu, bahkan sempat dia
menulis surat kepada pemerintahan Belanda untuk meneruskan sekolahnya di sana,
namun keinginannya pun tak terpenuhi karna sebuah keadaan dan budaya jawa dulu,
mengharuskan wanita berumur 12 tahun untuk dipingit dan dinikahkan.
Saat masa-masa itu, kartini tak dapat berbuat
apa-apa namun karna pemikiran nya yang luas dan tinggi, beliau mengisi
kekosongan waktunya saat dipingit dengan banyak membaca buku, bahkan dia tak
sungkan menanyakan sesuatu yang belum dia pahami dalam bacaanya kepada sang
ayah.
Beliau pun menikah dengan seorang Adipati
Rembang bernama Raden Adipati Joyodiningrat. Berdasarkan data sejarah, R.A.
Kartini ikut dengan suaminya ke Rembang setelah menikah. Walau begitu api
cita-citanya tidak padam. Beruntung Kartini memiliki suami yang mendukung
cita-citanya. Berkat kegigihan serta dukungan sang suami, Kartini mendirikan
Sekolah Wanita di berbagai daerah. Seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta,
Malang, Madiun, Cirebon, dan sebagainya. Sekolah Wanita itu dikenal dengan nama
Sekolah Kartini.
Kartini merupakan seorang wanita Jawa yang memiliki pandangan melebihi
zamannya. Meski dia sendiri terbelenggu oleh zaman yang mengikatnya dengan adat
istiadat. Pada 17 September 1904, Kartini menghembuskan napas terakhir di usia
25 tahun, setelah melahirkan anak pertama dan satu-satunya. Dia salah satu
wanita yang menjadi pelopor emansipasi wanita di tanah Jawa.
Kekeliruan emansipasi di Indonesia
Emansipasi memiliki arti sebagai sebuah usaha
dalam memperjuangkan hak ataupun kesetaraan derajat. Seorang wanita mempunyai
hak yang sama seperti laki-laki dalam memperoleh pendidikan, ekonomi maupun
politik. Wanita harus tau itu. Namun bukan berarti seorang perempuan harus
lebih unggul dalam hal tersebut sehingga melupakan kewajibannya sebagai
perempuan.
Yang dipahami dan disalah artikan pada saat ini
adalah hak sebebas-bebasnya bahkan menyimpang, yang menjadikan seorang wanita
bersaing dengan laki-laki. Terutama dalam masalah pekerjaan. Yang seharusnya
laki-laki dijadikan sebagai partner dalam bekerja. Saling bekerja sama. Namun
saat ini menjadi pesaing untuk wanita sendiri.
Keinginan kartini akan kebebasan dalam memperoleh
hak, yaitu dalam pendidikan, ekonomi, dan politik. Itu semua untuk bekal
dan kepentingan membangun sebuah perdaban. Ketika seorang perempuan kembali ke
rumah. Bagaimana pun mereka nanti akan menjadi seorang ibu bagi anak-anak
mereka, yang mana seorang ibu adalah pendidik pertama dalam sebuah kehidupan,
seorang ibu adalah pencipta peradaban. Tanpa sebuah bekal yang cukup dan sebuah
pengetahuan. Bagaimana mungkin seorang ibu akan menciptakan peradaban
selanjutnya yang jauh lebih baik lagi?.
Disayangkan sekali, kebanyakan wanita Indonesia
keliru akan hal itu, karna mereka masih memandang kesetaraan gender yang ada.
Di mana mereka menganggap harus mempunyai kemampuan yang sama seperti
laki-laki. Ya memang dalam beberapa hal tapi tak semua nya,
Akibat kekeliruan itu pun, tidak sedikit
laki-laki yang merasa tidak dihargai oleh seorang wanita, banyak sekali
perceraian yang ada, di karenakan penghasilan ibu lebih besar dibanding seorang
ayah. Dan pekerjaan-pekerjaan lebih banyak dihuni oleh wanita dibanding
laki-laki. Sehingga para lelaki yang kurang kreatif pun kebingungan untuk
melamar pekerjaan kemana lagi, karna hampir semua perusahaan kebanyakan
menerima wanita di banding laki-laki.
Bukan hanya dalam masalah ekonomi saja, bahkan
dalam urusan politik pun saat ini wanita dan lak-laki bersaing di dalamnya. Dan
anda dapat ulas sendiri bagaimana permasalah perpolitikan dan persaingan yang
terjadi antara laki-laki dan wanita. Khususnya di Negara anda ini.
Refleksi
Dilihat pada zaman ini, wanita sudah sangat mudah
mendapatkan hak nya, baik itu dalam masalah pendidikan, ekonomi, politik,
sosial, bahkan budaya. Tinggal bagaimana wanita tersebut memanfaatkan kebebasan
yang dapat mereka miliki itu.
ingatlah
wanita akan menjadi seorang ibu, dimana mereka nanti akan menciptakan sebuah
peradaban yang akan jauh lebih baik lagi
tentunya dari peradaban yang sebelumnya. Agar seorang istri pun nanti tak begitu kebingungan dan tidak menggantungkan
diri kepada suami untuk memberikan pendidikan kepada anak, dan kebingungan
bagaimana caranya mengatur keuangan, bahkan bagaimana memasak dan menata rumah
dengan baik. Bagaimana pun itu bukan tugas utama dari seorang suami. Hal
tersebut yang seharusnya istri lebih ahli.
Memperingati ‘Hari Kartini’ hanya memakai kebaya
dan sanggul sebagai penghormatan kita untuk pahlawan dan penjungjung emansipasi
wanita? Hanya sekedar itu?. Bahkan perlu
kita ketahui Kartini sendiri tidak begitu menyukai ‘pakaian Kebaya’.
Marilah kita refleksikan diri kita dengan kembali
mengkaji dan memahami pemikiran-pemikiran yang jauh lebih tinggi akan
emansipasi itu sendiri yang kartini harapkan.